Konon, selain kematian, beberapa hal yang kerap ditakuti orang salah satunya adalah berbicara di depan umum. Benar nggak begitu? Banyak orang yang merasa dak-dik-duk, gemetar, bingung setengah mati ketika diminta atau punya tugas harus berbicara di depan umum. Pertanyaannya adalah, apakah perasaan demikian itu wajar? Untuk membahas ini mari kita perhatikan hal-hal di bawah ini:Pertama, siapa pun orangnya, mau dia pembicara publik sekelas Hermawan Kertajaya, Rheinald Khasali, Andi Wongso, atau pak ketua RT di tempat kita, memiliki perasaan yang bisa disebut dengan bahasa dak-dik-duk ketika hendak berbicara di depan umum. Hanya memang kadar dan durasinya berbeda. Selain itu, jam terbang juga ikut andil besar di sini.
Orang seperti Hermawan Kertajaya dan lain-lain tetap merasa dak-dik-duk tapi kadarnya mungkin sedikit, durasinya hanya berlangsung beberapa detik. Dengan pengalamannya dalam menghadapi publik selama ini (jam terbang), rasa dak-dik-duk itu segera bisa dialihkan menjadi hal-hal yang dapat menghangatkan suasana.
Kedua, penguasaan materi. Kalau kita tiba-tiba ditodong untuk berbicara tanpa persiapan, ini akan berpotensi membuat kita gelagapan. Bedanya, kalau kita sudah punya jam terbang tinggi, situasi dan kondisi demikian bisa kita cairkan dengan cepat. Tapi bila tidak, ini bisa membuat kita stress yang ditandai dengan keinginan untuk ke toilet, sakit perut, jantung berdetak terlalu cepat dan lain-lain.
Begitu juga kalau kita dimintai berbicara tentang hal-hal yang kita sendiri tidak menguasainya. Meski kita sudah diberi waktu agak cukup untuk menyusun persiapan, tetapi kalau memang itu bukan bidang kita, mau tidak mau ini kerap membikin kita bingung. Untuk orang yang sudah punya jam terbang tinggi, kebingungan ini biasanya bisa diatasi dengan penyiasatan-penyiasatan kreatif.
Ketiga, audien dan suasana. Banyak orang yang merasa minder, dak-dik-duk atau bingung ketika harus berbicara di depan orang yang misalnya saja: lebih senior, lebih tua, lebih pintar, atau lebih segala-galanya. Persepsi kita tentang audien juga ikut mempengaruhi. Kalau kita mempersepsikan audien sebagai seperti macan, sementara kita mempersepsikan diri sendiri sebagai seperti kuncing, ya mana mungkin ada kucing yang tidak minder menghadapi macan. Jadi, baik fakta dan persepsi juga ikut berperan.
Begitu juga dengan suasana. Setiap suasana baru membutuhkan adaptasi baru. Ini berlaku untuk semua manusia. Orang yang biasa menghadapi massa dalam jumlah kecil, butuh adaptasi baru ketika diminta untuk berbicara di depan massa yang jumlahnya banyak. Orang yang biasa mengajar di depan siswa atau mahasiswa, tetap butuh adaptasi baru ketika diminta untuk berbicara di depan masyarakat yang tidak ada segmentasinya. Orang yang biasa berbicara dalam suasana yang alami, tetap butuh adaptasi baru ketika diminta berbicara dalam suasana yang benar-benar sophisticated, misalnya disorot kamera, direkam, ditayangkan melalui jaringan teve, dan lain-lain.
Jadi, merasa dak-dik-duk saat baru sekali atau dua kali berbicara di depan umum, saat menghadapi audien dengan segmentasi baru atau saat menghadapi suasana baru, itu semua wajar. Persiapan, penguasaan materi dan pengalaman menjadi kata kunci yang membedakan apakah kewajaran itu mengganggu atau tidak.
Perlu disadari bahwa sebagian besar kita punya kepentingan untuk meningkatkan kemampuan dalam hal berbicara ini. Ini terlepas apakah kita menjadikan kemampuan ini sebagai profesi (public speaker) atau tidak. Kenapa? Ini karena banyak proses pekerjaan yang menuntut kita harus berbicara di depan umum (orang banyak), misalnya presentasi, mengajar, mengarahkan, melaporkan, mendiskusikan, dan lain-lain. Karena itu, kalau membaca hasil survei CCL (Researh Summary Report, 2003), ada 45 % responden yang menyatakan ingin atau sangat ingin mendapatkan pengembangan di sejumlah area, termasuk salah satunya adalah public speaking atau presentasi.
PRINSIP, GAYA & ETIKA
Ada sedikitnya tiga hal yang perlu kita bedakan saat hendak berbicara di depan umum. Ketiga hal itu adalah: a) prinsip, b) gaya dan c) etika. Ketika disebut prinsip, maka yang dimasudkan adalah serangkaian kaidah yang harus kita jalankan atau taati. Kalau tidak, ini bakal menciptakan konsekuensi salah-benar.
Beberapa prinsip umum yang perlu kita taati antara lain:
Pertama, visualisasi. Ini masuk dalam persiapan. Visualisasi adalah membayangkan materi yang kita sampaikan, sistematika penyampaian, respon yang mungkin timbul dari audien, suasana yang kita harapkan untuk terjadi, dan lain-lain. Untuk orang yang sudah punya jam terbang tinggi, visualisasi ini barangkali cukup dilakukan dengan mengandalkan naluri atau alam bawah sadarnya. Pikirannya sudah terprogram untuk melakukan visualisasi secara otomatik (reflek).
Tapi, untuk pemula atau yang belum punya jam terbang tinggi, visualisasi ini perlu dilakukan dengan cara yang khusus. Banyak yang menyarankan agar ditulis, dihafalkan, dipraktekkan, dan dilakukan gladi kotor sampai gladi resik di tempat tertentu, misalnya kamar mandi, ruangan sepi atau kamar tidur. Terserah cara apapun yang pas buat anda, tetapi prinsipnya visualisasi ini harus dilakukan.
Bahkan ada pengalaman saya yang mungkin bisa dijadikan pelajaran. Dalam sebuah acara, saya kebetulan duduk di samping pembicara utama. Semua orang yang hadir si situ tahu kalau pembicara ini sudah punya jam terbang tinggi. Tapi, lima-sepuluh menit sebelum naik podium, beliau tetap membutuhkan waktu untuk melakukan visualisasi ulang. Ini yang sudah punya jam terbang tinggi, apalagi yang belum.
Kedua, tahu audien. Ini juga prinsip. Kenapa? Tahu audien akan membuat kita tahu materi yang bermanfaat untuk mereka. Tidak tahu audien akan membuat kita hanya berpikir untuk diri kita sendiri, padahal kita harus berbicara di depan umum. Secara prinsip dapat dikatakan bahwa orang akan tertarik pada hal-hal yang memang bermanfaat untuk dirinya. Kalau kita hanya berbicara tentang hal-hal yang hanya menarik untuk kita tetapi tidak menarik buat mereka, wah ini bisa gawat.
Tahu audien akan membuat kita tahu strategi yang pas buat kita. Ada strategi yang berbeda antara kita harus berbicara di depan orang yang lebih atas, yang sama / selevel dan yang lebih bawah. Strategi ini akan kita temukan kalau kita tahu siapa audien kita, kelompok mana audien kita, orang seperti apa audien kita, dan seterusnya.
Ketiga, kualitas-diri. Kualitas diri ini tentu luas pengertiannya. Saya ingin menggambarkan misalnya saja tingkat kepercayaan-diri. Agar kita bisa bicara lantang di depan orang (audien), tentu saja dibutuhkan tingkat kepercayaan-diri yang bagus. Darimana ini bisa digali? Kepercayaan-diri ini tidak bisa dibuat-buat. Seperti yang sudah kita bahas di sini, kepercayaan-diri ini terkait dengan bagaimana kita merasakan, menilai diri sendiri dan bukti prestasi yang kita miliki. Artinya, semakin bagus kualitas diri kita (dalam pengertian yang seluas-luasnya), akan semakin bagus pula kualitas kita dalam berbicara di depan umum: lebih pede, lebih jelas, lebih kokoh, lebih siap, dan seterusnya.
Lalu bagaimana dengan gaya? Gaya adalah seni bagaimana kita mendeliverikan, mempresentasikan atau mengekspresikan materi. Gaya ini biasanya terkait dengan konsekuensi enak dan tidak enak. Bagi kita yang tidak memilih profesi sebagai public speaker, gaya ini mungkin bisa penting dan bisa tidak. Gaya ini biasanya selalu berubah, tergantung pengalaman, selera, jam terbang, penguasaan, kepribadian, karakter personal, dan lain-lain.
Meski gaya ini variatif dan “suka-suka” kita memilihnya, tetapi ada semacam rambu-rambu umum yang perlu kita perhatikan. Ini antara lain:
Pertama, berbicara ngelantur kemana-mana. Ibarat masakan, terkadang kita butuh bumbu-bumbu yang ikut menambah kenikmatan dan kelezatan. Tapi bila bumbunya ini terlalu banyak, nasib menunya bisa lain. Begitu juga dengan berbicara. Terkadang kita butuh bumbu-bumbu, misalnya contoh, data, dalil, humor dan lain-lain. Tapi bila itu kebanyakan, ini akan mengalahkan materi utama yang ingin kita sampaikan. Apalagi misalnya sampai ngelanturnya itu mengkorupsi waktu orang lain. Silahkan bergaya apa saja tetapi jangan sampai ngelantur.
Kedua, berbicara terlalu cepat atau terlalu lambat. Terlalu cepat dapat membuat audien tidak mengerti dan tidak bisa mengikuti jalan pikiran dan materi yang kita paparkan. Jika ini menyangkut angka atau data penting, ini bisa gawat. Begitu juga kalau terlalu lambat. Ini bisa membuat orang ngelamun atau kurang semangat mengikuti kita. Idealnya, kita perlu memperkirakan antara 80-100 kata dalam satu menit.
Ketiga, suara terlalu tinggi atau terlalu rendah. Jangan meninggikan suara sampai dapat menganggu audien tetapi juga jangan terlalu merendahkan suara sampai tidak jelas didengar. Sebisa mungkin, kita perlu mengatur nada, irama dan tekanan. Artinya, ada beberapa hal yang perlu kita keraskan, datarkan dan rendahkan. Untuk yang sudah punya jam terbang tinggi, ini biasanya terjadi secara otomatik. Tetapi untuk pemula, ini perlu kita latih dalam visualisasi.
Keempat, terlalu banyak gerak atau terlalu diam. Gaya apapun yang kita pilih, itu suka-suka kita. Tetapi, hendaknya kita perlu menghindari praktek “overacting” atau “underacting” (terlalu diam) sehingga terkesan seolah-olah tidak ada interaksi antara kita dengan audien. Karena itu ada saran agar kita bisa menatap satu persatu dalam hitungan detik supaya muncul interaksi.
Kelima, terlalu rumit atau terlalu banyak poin yang penting. Gaya apapun yang kita pilih hendaknya perlu kita desain agar dapat membantu menyederhanakan persoalan yang kita sampaikan. Jika ada istilah-istilah asing yang tidak umum, kita pun perlu menjelaskannya dengan bahasa yang kira-kira bisa dipahami oleh audien. Ini bisa kita lakukan dengan contoh, analogi, penjelasan dari kita, dan lain-lain.
Begitu juga dengan poin-poin yang kita anggap penting itu. Belum tentu apa yang kita anggap penting itu akan penting juga bagi audien. Belum tentu apa yang penting bagi kita dan audien akan dianggap penting oleh mereka. Karena itu perlu ada pengarahan dan penyiasatan yang didukung oleh gaya bicara. Jika kita harus menjelaskan persoalan yang banyak sekali poin-poin yang penting, ini butuh metode yang kira-kira bisa diikuti, misalnya dengan nomor: pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya atau dengan istilah seperti judul, sub judul, sub-sub judul, dan lain-lain.
Selanjutnya adalah etika. Etika ini terkait dengan kepantasan dan ketidakpantasan; kesopanan dan ketidaksopanan. Beberapa hal yang sering dianggap etika umum dalam berbicara di depan publik itu antara lain:
Pertama, salah menyebut orang atau menyebut orang dengan sebutan / sapaan yang berpotensi dirasakan tidak enak, misalnya: ibu yang gendut itu, mas yang kurus, bapak yang berkacamata, mbak yang berkulit hitam, dan seterusnya. Akan lebih safe kalau kita menyebut namanya saja ditambah dengan kata-kata yang memuliakan, seperti: pak, bu, mas, dan seterusnya.
Kedua, memberikan contoh yang menyinggung atau menyakiti orang, terutama dari audien. Pilihlah contoh, anekdot atau kiasan yang kira-kira dapat membantu penjelasan kita, tetapi juga perlu kita pikirkan efeknya bagi orang lain.
Ketiga, menganggap audien sebagai orang yang bodoh dan menganggap kita lebih jago. Ini biasanya tidak kita ucapkan lewat mulut, tetapi kita praktekkan melalui tanggapan atau penjelasan. Di depan orang banyak, pertanyaan seperti apapun perlu kita tanggapi secara bijak dan dengan logika-logika yang positif. Untuk menekan perasaan demikian, hindari motif-motif untuk menonjolkan diri, misalnya ingin dianggap orang hebat, orang pintar, dan lain-lain. Batasi pikiran untuk hanya berkesimpulan bahwa di situ kita hanya menjelaskan sesuatu dan bila ada yang kurang kita perbiki. Titik.
Keempat, tidak “melek-sponsor”. Ini biasanya digunakan untuk menyebut artis, penyanyi, mc, atau pembicara yang tidak menyebut atau mempromosikan sponsor yang menyelenggarakan acara. Meski kita bukan artis atau penyanyi tetapi akan lebih etis kalau kita mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang menurut kita telah memberikan kontribusi.
Kelima, jauhi mannerisms, seperti garuk-garuk kepala, merapikan baju, mengusap muka, hidung, telinga, melihat dasi atau sepatu, dan lain-lain. Intinya, kita perlu mengkondisikan diri se-informal mungkin tetapi perlu menghindari hal-hal kecil yang berpotensi dianggap sebagai ketabuan atau ketidakpantasan.
Terakhir, kata sejumlah pembicara yang saya simpulkan: “Jangan menanyakan honor di depan!” Honor itu kita butuhkan. Ini tentu anda juga sepakat. Tetapi masalahnya, ketika honor itu kita dahulukan, di sini muncul masalah etika.
Tip Perbaikan
Ada sejumlah tip yang perlu kita terapkan sebelum naik bicara. Itu antara lain:
Pertama, apakah materi yang akan kita jelaskan itu akurat atau belum. Lebih-lebih jika menyangkut soal angka atau uang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah diprotes berhari-hari karena (catatan : menurut versi pemrotes) beliau membacakan data kemiskinan yang tidak akurat.
Kedua, apakah materi yang akan kita sampaikan itu sudah jelas atau belum. Jelas di sini artinya menutup celah kesalahpahaman (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation).
Ketiga, apakah materi yang kita sampaikan itu mengena atau tidak. Mengena di sini sesuai dengan tujuan. Kalau yang kita maksudkan itu tindakan, ya perlu diarahkan pada tindakan. Begitu juga kalau yang kita inginkan adalah penjelasan, pemahaman, pemikiran atau keadaan. Ini perlu kita cek agar bisa mengena sasaran.
Keempat, apakah cocok dengan keadaan atau tidak. Protes, penolakan dan reaksi emosional memang kerap kali muncul tetapi hendaknya kita perlu menyusun materi yang dapat menghindarkan kita dari situasi demikian. Perlu menyusun materi yang sesuai dengan keadaan. Kalau perkiraan kita masih fifty-fifty, ya kita perlu persiapan menghadapi kejutan itu.
Kelima, apakah materi kita sudah relevan atau belum. Relevan di sini adalah bermanfaat untuk orang lain. Bermanfaat ini pengertiannya luas tetapi hendaknya kita perlu mendesain materi setelah mempertimbangkan kepentingan orang lain, audien.
Keenam, apakah materi kita sudah simpel atau belum. Kalau masih ruwet, kita perlu cari akal untuk membuatnya menjadi materi yang mudah dipahami orang lain. Kata Einstein, sebelum anda menyampaikan teori baru, jelaskan dulu di depan anak-anak. Kalau mereka tidak paham, teori anda masih ruwet.
Ketujuh, apakah bahan kita masih mengandung “hidden context” atau tidak. Hidden context di sini artinya beberapa hal yang masih tersembunyi (tidak diketahui oleh orang lain) dan bila ini tidak dijelaskan, akan berpotensi melahirkan pemahaman yang kurang, entah kurang utuh atau kurang kuat. Mudah-mudahan ini bermanfaat.
Oleh : Ubaydillah, AN
*******
|
|